Ads 468x60px

Senin

Lahirnya Nahdhatul Ulama (NU)


Nahdhatul Ulama (NU) adalah sebuah gejala yang unik, bukan hanya Indonesia, melainkan juga di seluruh dunia muslim.ia adalah sebuah ulaman tradisional yang memiliki pengikut yang besar jumlahnya, oraganisasi non pemerintah yang palingbesar,masih bertahan, dan mengakar dikalangan bawah.Ia memiliki, paling tidak, dua puluh juta muslim, yang-meski tidak terdaftarsebagai anggota resmi-merasa terikat padanya melalui ikatan-ikatan kesetiaan primodial. Di sebuah negeri yang dilanda kecenderungan-kecenderungan kearah kuat kearah pemusatan (sentralisasi), NU merupakan oraganisasi paling siginifikan yang sangat terdesentralisasi. Para
pengkritiknya mengkaitkan desentralisasi yang luarbiasa ini dengan ketidakefiktifan pengurus pusatnya, sementara warga NU sendiri lebih sukamenghubungkannya dengan rasa kemandirian yangsangat itnggi yang dimiliki oleh para kiyai lokal yang menjadi penyangga moral organisasi ini.



Sejalan dnegan tradisi politik islam sunni, NU dalam perjalanan sejarahnya di masa lalu,biasanya bersikap sangat akomodatif terhadap pemerintah dan para pemimpinna sering kali dituduh sebagaiorang-orang opurtunis. Akan tetapi selama tahun 1970-an, ketika kebijaan-kebijkan khas Orde Baru secara bertahap berjalan menurut arahnya sendiri, NU menjelma menjadi pengkritik yang terus terang dan konsisten terhadap berbagai kebijakan tersebut.

Suara-suara protes terhadap berbagai ketetapan pemerintah yang tidak populer yang terdengar di DPR ternyataberasal dari utusan NU. (pengkritik yang lebih radikal, tentu saja, tidak dapat ambil bagian dalam politik parlemen sejak tahap sangat awal). Dua kali utusan NU melanggar prinsip politik konsensual yang sangat dijunjung tinggi dengan melakukan walk out dari DPR, tindakan tersebut tidak khanya merupakan protes terhadapundang-undang yang sedang di sidangkan pada saat itu (salah satunya berkaitan dengan indoktrinasi idiologi resmi, Pancasila),tetapi juga menantang landasan pokok politik orade baru.

Barangkali penolakan NU inilah yang mendorong pemerintah pada awal tahun 1980-an sangat menuntut adanya kesepakatan idiologis yang lebih jauh lagi dan mewajibkan semua organisasi keamasyarakat dan partai menerima pancasila sebagai asastunggal dengan melepaskan melepaskan asas yang lain, termasuk islam. Kali ini berlawanan yang mungkin diduga orang, NU menuruti tuntutan tersebut dan bahkan melakukannya mendahului semua oraganisasi lainnya. Muhtamar tahun 1984 di situbondo (yang biasa dikenal dengan Muktamar Situbondo)melakukan perubahan anggaran dasar sebagiamana yang diminta pemerinta. NU juga melakukan gerakan rekonsiliasi lain dengan pemerintah; ia bahkan mengundang panglima ABRI beragama katolik, L.B.Moerdani- yang dipercaya secara langsung telah memerintahkan tentara menembak para demonstran muslim di daerah Tanjung Priok, Jakarta, beberapa waktu sebelumnya pada tahun yang sama-untukmengunjungi pesantren besar di Jawa Timur dan bertemu dengan para kyai.

Sikap yang tampak tidak sejalan dengan pendirian oposisional yang diambilnya beberapa waktu sebelumnya ini, hanyalah salah satu dari beberapa perubahan terkait yang terjadi hampir secara bersamaan. Pada muktamar yang sama NU meninggalkan diri politik praktis-sebuah keputusan yang umumnya disebabkan frustasi terhadap faksi lain dipartai PPP, kedalam manah NU dipaksa meleburkan daripada tahun 1973. NU menyatakan niatnya menjadi sebuah oraganisasi keagamaan non politik sebagiamana dimasa lalu,sembari pada saat yang sama menyatakan pengembangan masyarakat(community development) sebagai bagian dari keprihatinannya. Satu-satunya bapak pendiri NU yang masih hidup ahirnya meninggal dunia pada tahun 1980 dan riorentasinya diatas dalam pemikiran banyak orang snagat erat kaitannya dengan generasi pemimpin yang lebih muda yang terpilih pada muhtamar tahun 1984. Adalah, terutama, kyai Ahmad Sidiq, rais Am (pemegang kewenangan keagamaan dan moral tertinggi dalam NU dan Abdurrahman Wahid ketua badan eksekutif (tanfidiah), yang telah memberi wajah baru bagi oragaisasi ini. Kedua tokoh ini mewakiliki para gagasan-gasan yang berbeda dengan gagasan prapendahulu mereka mengenai apa yang harus diperjuangkan NU.

Dapat dimengerti, perubahan-perubahan yang terjadi di tubuh NU ini tidak mendapat dukungan suara bulat. Mereka banyak mendapat kitik baik dari kalangan orang dalam maupun luar organisasinya. NU sudah terlibat aktif dalam politik sejak tercaipainya kemerdekaan bangsa (baik sebagai partai politik maupun sebagai bagian dari PPP) dan telah melahirkan banyak politisi profesional. Banyak kalangan yang keberatan dengan alasan bahwa perubahan ini akan merugikan kepentingan – kepentingan politik umat Islam atau khususnya NU, di samping banyak kyai yang sudah sangat tergantung pada berbagai bentuk patronase yang diperoleh melalui jalan politik, mereka yang terbiasa dengan pola – pola berpikir yang sudah mapan dan juga sebagian kelompok kepentingan dalam NU tidak dapat menerima langkah depolitisasi tersebut.

Meskipun demikian, perubahan tiba-tiba pada sikap akomodatif dan menurut pada pemerintahan ini, mungkin mengejutkan, berjalan dengan penolakan yang jauh lebih kecil di dalam tubuh NU dibandingkan penolakan terhadap keputusan keluar dari PPP. Banyak anggota NU karena alasan yang berbeda - beda, merasa tidak senang ketika organisasi mereka berkonfrontasi dengan pemerintah. Para pengusaha yang berafiliasi dengan NU dan para kiai segera menemukan betapa kehidupan menjadi jauh lebih mudah ketika para penguasa sipil dan militer tidak lagi mencurigai orgnisasi mereka. Perubahan sikap tersebut sempat menimbulkan rasa tidak percaya di kalangan orang luar, tetapi tak berlangsung lama karena semua organisasi lain, setelah sebelumnya merasa enggan atau melakukan protes diam, akhirnya mengikuti juga.

Di samping tekanan pemerintah, ada juga beberapa alasan lain yang mendorong penarikan diri dari politik praktis. Banyak kiai merasa bahwa konsentrasi pada berbagai kegiatan politik telah mengorbankan kualitas pendidikan pesantren, sementara yang lain merasa bahwa kepentingan sosial dan ekonomi masyarakat pedesaan yang menjadi massa pendukung NU telah terabaikan karenanya. Pada tahun 1980-an kita menyaksikan, berbarengan dengan depolitisasi NU, tumbuhnya kembali minat baru dalam pengembangan bidang pendidikan dan tradisi intelektual Islam serta berbagai upaya serius memperbaiki situasi sosial dan ekonomi pendukung pedesaan NU. Terlihat juga berbagai usaha untuk mengembangkan wacana keagamaan baru yang lebih peka terhadap problem-problem kemiskinan, ketimpangan, ketertindasan dan pembangunan, suatu corak teologi pembebasan Islam Indonesia (akan tetapi, secara hati - hati disebut sebagai "teologi pembangunan").
Source: Pendahuluan Nahdhatul Ulama : NU, Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa /Pencarian Wacana Baru. Martin van Bruinessen.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar